PEMBAHASAN
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang,
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengingat belum seluruhnya rakyat Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab.
Contohnya berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan nara sumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan.
UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (“UU Pers”) sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namun dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers.
UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan. Apakah itu pemimpin redaksi atau wartawan? UU pers tidak mengatur secara jelas. Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.
1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan;
3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Untuk masalah penghinaan Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. setiap orang;
2. dengan lisan;
3. menghina menyerang;
4. kehormatan atau nama baik orang lain;
5. menuduhkan suatu hal;
6. dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.
Untuk Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP tersebut ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-).
Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP, sebagai pemberat tindak pidana terhadap Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur: dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum. Dengan demikian jika tindak pidana penghinaan dilakukan melalui pemberitaan pers telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP. Akan tetapi dalam Pasal 511 Ayat (3) RUU KUHP diatur pula mengenai dasar pembenar untuk melakukan hal-hal yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) dan (2) RUU KUHP, yaitu jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Untuk Pasal 511 Ayat (2) RUU kUHP ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-).
Untuk tindak pidana fitnah, hal tersebut diatur dalam Pasal 512 RUU KUHP. Tindak pidana fitnah itu sendiri merupakan pengembangan dari tindak pidana penghinaan baik yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) maupun Ayat (2) RUU KUHP. Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa yang dituduhkan oleh si pelaku tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers maka tindak pidana fitnah tersebut akan memenuhi unsur Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP.
Untuk tindak pidana fitnah (Pasal 512 RUU KUHP) ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Kategori III (Rp. 30.000.000,-) dan paling banyak Kategori IV (Rp.75.000.000,-).
Dengan demikian RUU KUHP sendiri di lain sisi juga cukup memberikan perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk membuktikan kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP, dimana diatur bahwa pembuktian kebenaran akan tuduhan yang dilakukan tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal:
1. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri;
2. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam melakukan tugas jabatannya.
Selanjutnya Pasal 513 Ayat (1) RUU KUHP memberikan dasar pemaaf bagi pelaku penghinaan dan fitnah yaitu apabila tuduhan yang dibuat oleh si pelaku tersebut terbukti kebenarannya berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka, si pelaku tidak dapat dipidana atas fitnah. Hal ini tentu saja berlaku juga terhadap tindak pidana fitnah yang dilakukan melalui pemberitaan pers. Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya maka, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah berkekekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Dalam hal ini benar-benar diperlukan hakim atau pengadilan yang betul-betul menghayati dan memahami seluk-beluk penerapan hukum pidana khususnya tentang penghinaan dan fitnah.
Dalam hal terjadi kasus penghinaan atau fitnah, maka proses persidangan terdakwa penghinaan atau fitnah akan ditunda terlebih dahulu jika hakim memutuskan untuk membuktikan kebenaran akan apa yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut (Pasal 513 Ayat 3 RUU KUHP) yang dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis (termasuk media pemberitaan pers). Setelah persidangan masalah pembuktian kebenaran tuduhan tersebut mempunyai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap maka barulah proses persidangan perkara penghinaan atau fitnah dilanjutkan. Hal tersebut dilakukan karena pembuktian akan kebenaran tentang hal yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan dalam persidangan perkara penghinaan atau fitnah.
Perlu ditekankan juga bahwa tindak pidana penghinaan dan fitnah adalah merupakan delik aduan (Pasal 518 RUU KUHP) karena pelaku tindak pidana penghinaan dan fitnah tidak akan dituntut, jika tidak ada pengaduan dari orang yang berhak mengadu, kecuali jika yang dihina atau difitnah adalah seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (Pasal 515 RUU KUHP).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dimengerti bahwa kebebasan pers dalam mengemukakan berita tetap dijaga, akan tetapi bukan berarti kriminalisasi dalam pers tidak dimungkinkan. Dalam hal media pers telah menjadi alat untuk melakukan penghinaan dan fitnah tentu saja oknum tersebut harus dapat dipidana. Jadi bukan pers sebagai media pemberitaan yang dikriminalisasi tetapi pelaku, oknum yang mungkin saja menunggangi pers atau memanfaatkan pers untuk kepentingan yang melanggar hukum, itulah yang akan dikriminalisasi. Jadi yang diadili adalah si pelaku dan bukan pers.
Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui media pemberitaan pers, tentu saja harus terdapat opzet atau kesengajaan pelaku untuk melakukan tindak pidana, dan juga adanya schuld atau kesalahan dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers yang dipidanakan tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut yang dipidana.
Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Di lihat dari sisi lain kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan sangat merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini publik, pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum.
Oleh karena itu jika dipandang dari sudut pandang hukum pidana khususnya dalam RUU KUHP, hukum secara seimbang telah mengatur antara kebebasan pers dan pertanggung jawaban isi dari beritanya, dan perlu diingat bahwa pasal-pasal penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai tindak pidana penghinaan dan fitnah secara umum (general) jadi tidak hanya mengacu pada pemberitaan pers saja. Justru dengan adanya pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP maka pers Indonesia didorong untuk menjadi lebih profesional dan lebih bertanggung jawab dalam menerbitkan pemberitaan. Hal tersebut karena pers selain mempunyai tugas untuk memberikan informasi secara terbuka dan transparan terhadap masyarakat, pers juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat dan untuk menjaga opini publik, yang rentan terhadap situasi sosial politik di negara seperti Indonesia.
Akan tetapi ada yang perlu dikritisi dalam pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah RUU KUHP yaitu mengenai pembuktian akan kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah yang didasarkan atas kepentingan umum atau pembelaan diri. Berdasarkan Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP pembuktian kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah sepenuhnya tergantung pada keputusan hakim, sedangkan seharusnya pembuktian mengenai apa yang dituduhkan sebagai penghinaan atau fitnah harus dilakukan tanpa kecuali karena hal tersebut merupakan bukti apakah si terdakwa benar melakukan tindak pidana atau tidak.
Hal lain yang perlu dikritisi adalah tidak efisiennya persidangan, karena sidang pembuktian akan kebenaran tuduhan fitnah atau penghinaan pasti akan memakan waktu yang lama sehingga asas peradilan yang cepat, dan biaya murah sulit untuk diterapkan dalam kasus penghinaan dan fitnah.
- Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aidya Bakti
- Hamzah, A, I Wayan Suandra dan BA Manalu. 1987. Delik-Delik Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Media Sarana Pers
- dan dari berbagai sumber yang dapat di percaya.